Rabu, 01 Juli 2009

Wacana kembalinya Duet SBY-JK cukup membuat PKS berang. SBY diminta untuk berhati-hati merespon wacana itu dan tidak mengulang kegagalan bersama JK dalam membangun pemerintahan selama ini.

“SBY jangan mengulangi lagi kegagalannya bersama JK dalam membangun kekompakan pemerintahan baik di kabinet maupun DPR,” kata Wasekjen DPP PKS Bidang Komunikasi Politik Fahri Hamzah kepada detikcom, Senin (13/4/2009).

Menurut wakil ketua FPKS ini, ada kesan SBY takut terhadap Golkar sehingga akan tetap mempertimbangkan Golkar dengan menggaet kembali JK sebagai cawapresnya. Padahal langkah menggandeng JK diyakini akan mempersulit kemenangan SBY dan menghambat soliditas koalisi yang akan dibangun.

“SBY harus memiliki kemantapan hati dalam menata sistem politik dan pemerintahan yang akan datang secara lebih solid. Harusnya SBY tetap komitmen berkoalisi dengan partai-partai reformis. Biarkan saja JK bergabung dengan partai-partai Orba, PDIP maupun PPP,” tegas Fahri.

Fahri mengingatkan sulitnya masa depan SBY jika tetap ngotot berduet dengan JK. “Jika itu terjadi, maka PKS berpikir sulit juga masuk dalam koalisi permanen pemerintahan SBY-JK lagi. Ini harus dipikirkan, sebab SBY bisa kalah kalau ada calon lain yang membawa haluan baru,” pungkasnya.

Senin, 29 Juni 2009

teori tabungan dan investasi

Teori Tabungan

Suatu perekonomian bebas bunga, seperti yang dianjurkan oleh Islam, adalah satu-satunya pemecahan untuk mengurangi penderitaan manusia yang merosot martabatnya dalam sistem perekonomian kapitalis.

Menurut Mannan (1997;127), bahwa dengan tidak adanya bunga tabungan tidak dapat dimobilisasi untuk pembentukan modal, karena itu, keperluan akan modal berbunga sebenarnya timbul dengan perkembangan industri dan perdagangan secara besar-besaran. Serangan paling tajam terhadap pendirian ini datang dari Keynes, yang menolak bahwa tabungan itu sendiri memerlukan suatu rangsangan dalam bentuk bunga. Dia menyatakan bahwa sebagian besar tabungan bersifat sukarela. Dengan demikian tidak memerlukan imbalan khusus berupa uang. Bahkan jika diakui bahwa suku bunga mempunyai sedikit Pengaruh terhadap tabungan marjinal, pendiri neo klasik itu telah diruntuhkan oleh anggapan tentang pendapatan tetap. Keynes telah mencoba membuktikan bahwa tabungan dan investasi selalu harus tetap sama; persamaan antara keduanya itu disebabkan oleh perubahan dalam tingkat pendapatan sebagai akibat investasi.

Lebih lanjut Mannan (1997;127) mengemukakan bahwa bahkan dengan tidak adanya rangsangan bunga, mungkin terdapat lebih banyak tabungan dan investasi, dan berakibat lebih banyak pendapatan, Sebagian karena daya tarik sisa laba yang lebih tinggi, sebagian lagi karena kurangnya risiko kerugian. Karena peran serta rakyat yang langsung dalam proses produksi, maka hasil investasi mencukupi dan adil tanpa sebagian besar daripadanya dieksploitir oleh kapitalis. Selanjutnya keputusan mengenai pembuatan kebijakan yang begitu luas dan dipertanggungjawabkan bersama, menyebabkan berkurangnya peluang investasi yang tidak bijaksana dan berbahaya, dan dengan demikian akan mengurangi resiko kerugian sekecil-kecilnya.

Menurut Kahf (1995); Chapra (2002), penanaman spirit Islam pada semua tingkatan masyarakat akan mengurangi klaim pada sumbersumber daya, termasuk cadangan devisa, dan akán mendorong tabungan dan formasi kapital. Hal ini juga akan mengurangj permintaan kredit (bukan saja untuk tujuan-tujuan konsumsi pamer, yang tidak meluas tersebar di negara-negara berkembang, tetapi juga impor, produksi, dan distribusi barang-barang demikian) dan karena itu adalah ekspansi moneter yang tidak perlu. Pelanggaran terhadap nilai-nilai Islam oleh sebagian orang sekalipun akan cenderung melonggarkan ikatan sosial untuk memperoleh simbol-simbol prestise sehingga mempertajam nafsu ketamakan dan kedengkian.

Selain itu, Kahf (1995); Chapra (2002) juga menyebutkan bahwa pengeluaran yang berlebihan dilarang, penimbunan simpanan juga dikecam tegas oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sumber-sumber daya yang telah disediakan Allah harus dipergunakan untuk kegunaan si empunya (dalam batas-batas yang ditetapkan oleh Islam) atau peruntukan bagi orang lain sehingga memenuhi tujuan dasar penciptaannya. Membiarkannya menganggur dan tidak memanfaatkannya bagi tujuan-tujuan konsumsi yang benar atau untuk pengembangan barang-barang umum lewat kontribusi kesejahteraan (zakat, sedekah, dan pembayaran semacamnya) atau untuk investasi produktif te1ah dikecam oleh Islam.

Lebih lanjut, Kahf dan Chapra menyatâkan bahwa sangatlah perlu mengorganisasikan serta meregulasi uang dan sistem perbankan dalam suatu cara yang tidak saja akan mengurangi dorongan melakukan pengeluaran yang berlebihan, tetapi juga memobilisasi simpanan dan menyalurkannya ke dalam pemanfaatan-pemanfaatan secara produktif. Bagaimanapun, sistem itu tidak boleh menggalakkan memfasilitasi produksi serta konsumsi barang dan jasa yang memiliki prioritas rendah dalam sistem nilai Islam. Deposito yang dipakai bank untuk memberikan pinjaman adalah milik masyarakat dan keadilan sosioekonomi menuntut bahwa sumber-sumbor daya yang sudah dimobilisasi itu dialokasikan untuk membantu membiayai produksi dan distribusi semua kebutuhan pokok masyarakat sebelum dana-dana itu dipersiapkan untuk tujuan-tujuan lain.

Efek Zakat Terhadap Tabungan

• Menurut Metwally (1995), tabungan adalah selisih langsung antara pendapatan nasional dengan konsumsi agregat. Secara matematis hubungan tabungan, pendapatan nasional, dan investasi dapat

dituliskan sebagai; -

Dengan mensubstitusikan persamaan (5.10) ke dalam persamaan (6.1) diperoleh persamaan:

Zakat yang dikenakan berpengaruh negatif terhadap tabungan. kecenderungan menabung rata-rata dan kecenderungan menabung marjinal dengan variabel zakat harta perniagaan lebih kecil dibandingkan kecenderungan menabung rata-rata dan kecenderungan menabung marjinal tanpa variabel zakat.

6.3 Tabungan Agregat dalam Ekonomi Islam

Tabungan adalah selisih langsung antara pendapatan nasional dengan konsumsi agregat. Secara matematis hubungan tabungan, pendapatan nasional, dan investasi dapat dituliskan sebagai berikut.

S=Y-C

Dengan mensubstitusikan persamaan (5.31) ke dalam persamaan (6.1) diperoleh persamaan;

SzY— a+b(13Y-aY)6R1-13) (6.13)

di mana cc adalah besarnya zakat yang dibayarkan.

Namun dalam persamaan diatas belum memperhitungkan adanya pajak yang harus dibayarkan oleh muzakki, sedangkan mustahiq tidak berkewajiban membayar pajak. Oleh karena itu, untuk memudahkan pemahaman, dianggap bY merupakan pendapatan pembayaran zakat yang menguasai satu bagian tertentu dan pendapatan nasional; dan sisanya (1-b)Y adalah pendapatan penerima zakat. Jika transfer pemerintah atau Tr dianggap nol, dan pajak (Tx = ‘t’Z), maka diperoleh persamaan-persamaan makro ekonomi tanpa variabel zakat perniagaan sebagai berikut:)(Ausaf Ahmad, 1987)

S=Y— a+bf3Y—bt3Y+6Y—öbY—6tY÷tI3Y

Kecenderungan menabung rata-rata (APS) adalah tingkat tabungan dibagi pendapatan nasional, dan kecenderungan menabung marjinaI (MPS) adalah turunan pertama dan tingkat tabungan. Tanpa adanya zakat harta perniagaan sebagai pengurang pajak, nilai APS dan MI’S dapat dinyatakan sebagai:

APS=) =1— + b13-bt5+ö-öt+6t13

z.o Y

(dS

MPS = = 1 — bf3— btf3 + 6— & + öt/3

(6.16)

Zakat perniagaan zY, di satu sisi akan mengurangi penghasilan kena pajak muzakki, dan di sisi lain tidak termasuk objek pajak yang wajib bagi mustahiq. Oleh karena itu persamaan-persamaan (3.28), (3.29), (3.30) dan (3.31) di atas dapat ditulis kembali menjadi:

S=Y— a+b3Y—baY—bt13Y+baY +Y—613Y--tY+&Y+&f?

(6.17)’

Kecenderungan menabung rata-rata (APS) adalah tingkat’

tabungan dibagi pendapatan nasional, dan kecenderungan menabung marjinal (MPS) adalah turunan pertama dan tingkat tabungan. Dengan adanya zakat harta perniagaan sebagai pengurang pajak, nilai AP dan MPS dapat dinyatakan sebagai:

a

APS=LJ =1—+b/3—ba—btf3+bta+ \A j>

(6.14)

3—613— öt + 6a + 6tf3

(dS ‘ MPS=(H =1— b$—ba—btf3÷bta+3—3f3— IZ>o

öt + öcx + Stf3

(6.19)

Teori Investasi

A. Teori Investasi dalam Ekonomi Konvensional

Teori Investasi Neo—Klasik

Teori investasi neo—klasik pada dasarnya membahas kecepatan perusahaan dalam menyesuaikan stok kapital mereka pada tingkat stok kapital yang diinginkan. Hipotesis paling populer adalah hipotesis penyesuaian kapital atau disebut akselerator fleksibel. Hipotesisnya adalah bahwa perusahaan merencanakan untuk menutup sebagian (1) dan perbedaan antara stok kapital yang diinginkan dengan stok kapital aktual untuk setiap periode. Dianggap stok kapital pada akhir periode terakhir dengan K1. jurang/selisih antara stok kapital yang diinginkan dan yang sebenarnya adalah (K*K1). Perusahaan merencanakan untuk menambah stok kapital pada periode terakhir K_1, bagian 1 dan jurang K* - K1 sehingga stok kapital pada akhir periode dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

Teori Investasi Keynes

Menurut Keynes, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi investasi selain suku bunga. Faktor suku bunga merupakan faktor penting dalam mempengaruhi investasi, karena mencerminkan biaya penggunaan dana. Selain bunga terdapat faktor lain yang mempengaruhi investasi, yaitu pembelian barang modal dan pengoperasian, pajak perusahaan, perubahan teknologi, ekspektasi keuntungan dan banyak barang modal yang dimiliki (F.Wijaya M, 1999). Beberapa dan variabel tersebut mampu mempengaruhi investasi baik secara terpisah maupun bersama.

Dan teori ekonomi yang dikemukakan Keynes, keputusan untuk melakukan investasi tergantung pada perbandingan antara keuntungan yang diharapkan dengan biaya penggunaan dana atau bunga. Tingkat keuntungan yang diharapkan tersebut dikenal sebagai Marginal Efficiency of Capital (MEC).

Dalam pendekatan MEC, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan tingginya nilai MEC proyek investasi. Setelah nilai MEC ditemukan, nilai tersebut dibandingkan dengan tingkat bunga pasar, yaitu:

Ø Bila MEC > tingkat bunga (r), maka proyek investasi dianggap menguntungkan sehingga layak diterima (dilaksanakan).

Ø Bila MEC <>

S. Reksoprayitno menyebutkan bahwa cara mengadakan evaluasi proyek investasi perusahaan adalah konsepsi marginal efficiency of capital (MEC). MEC biasa didefinisikan sebagai tingkat diskonto yang menyamakan nilai sekarang pada sebuah proyek investasi dengan besarnya modal yang diperlukan untuk ditanam dalam proyek tersebut. Selain itu MEC juga merupakan tingkat diskonto yang tingginya menghasilkan nilai NPV proyek investasi sebesar nol.

Karena hasil pengurangan jumlah investasi yang diperlukan terhadap Gross Present Value atau nilai sekarang bruto proyek investasi merupakan Net Present value atau nilai sekarang bersih, maka dapat dikatakan bahwa MEG merupakan tingkat diskonto yang tingginya menghasilkan nilai NPV proyek investasi sebesar nol. Mendasarkan pada definisi ini, maka nilai MEC sebuãh proyek investasi dapat ditemukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

atau bila dinyatakan dalam nilai netto adalah sebagai berikut:

di mana, C merupakan besarnya modal yang diperlukan, R merupakan penerimaan bersih yang diperkirakan akan diperoleh dan proyek investasi perperiode. Angka ini merupakan jumlah hasil penerimaan produk yang dihasilkan oleh proyek investasi untuk masing-masing periode setelah dikurangi dengan seluruh biaya, kecuali biaya penyusutan dan modal. 1,2,....., n menunjukkan periode ke 1, periode ke 2 , periode ke n, adalah perkiraan umur ekonomi proyek investasi.

Selanjutnya perlu dibedakan antara MEG dan MET. Jika MEC mengaitkan tingkat bunga dengan modal maka MET (Marginal Effzciency of investment) mengaitkan tingkat bunga dengan investasi netto. Konsep MET bersifat flow, sedangkan MEG bersifat stok. Kelebihan MET yang lain adalah MET menganggap biaya untuk menyesuaikan stok modal berubah-ubah atau meningkat, sedangkan MEC menganggap tetap.

B. Teori Investasi dalam Ekonomi Islam

Metwally (1995; 70-72) menyebutkan bahwa Investasi di negara penganut ekonomi Islam dipengaruhi oleh tiga faktor sebagai berikut.

  1. Ada sanksi untuk pemegang asset kurang/tidak produktif (hoarding idle assets).
  2. Dilarang melakukan berbagai macam bentuk spekulasi dan segala macam judi.
  3. Tingkat bunga untuk berbagai macam pinjaman adalah nol dan sebagai gantinya dipakai sistem bagi hasil.

Dan tiga kriteria di atas menunjukkan bahwa dalam ekonorni Islam, tingkat bunga tidak masuk dalam perhitungan investasi. Karena itu, ongkos oportunitas (opportunity cost) dana untuk tujuan investasi adalah tingkat zakat yang dibayarkan atas dana tersebut. Dengan kata lain, tabungan yang tidak disalurkan ke investasi nyata, maka seseorang akan terbebani zakat (seperti yang telah ditentukan).

Dan uraian di atas jelas bahwa investasi dalam ekonomi Islam adalah fungsi dan tingkat keuntungan yang diharapkan. Tingkat keuntungan yang diharapkan bergantung pada pangsa keuntungan relative antara investor dan penyedia dana sebagai mitra usaha. Tingkat zakat dan biaya lain atas dana yang tidak/kurang produktif juga berpengaruh nyata atas keputusan investasi.

Metwally (1995;73) menyatakan bahwa fungsi investasi dalam ekonomi Islam dirumuskan sebagai berikut:

dan

I = permintaan akan investasi

r = tingkat keuntungan yang diharapkan

SI = bagian pangsa keuntungan/kerugian investor

SF = bagian pangsa keuntungan/kerugian peminjam dana

ZA = tingkat zakat atas asset yang tidak/kurang produktif (dapat berkembang)

ZP = tingkat zakat atas keuntungan dan investasi

m = pengeluaran lain selain zakat atas asset yang tidak /kurang produktif.

Karena tingkat keuntungan yang diharapkan bukan sebagai variabel kontrol, maka variabel yang dapat dipakai sebagai instrumen oleh otoritas muslim untuk mendorong investasi adalah tingkat biaya asset yang kurang/tidak produktif. Variabel ini merupakan alternatif tingkat bunga yang biasa berlaku dalam negara non Islam penganut pasar bebas.

C. Fungsi Investasi

Tidak seperti tabungan dan konsumsi, investasi merupakan sebuah bisnis ya tidak dapat diprediksi dan berisiko, karena investasi tidak harus mengikuti pe gerakan yang sama dengan produk nasional bruto (GNP) beda halnya deng pengeluaran konsumsi yang dapat memengaruhi nilai produk nasional brut (GNP), Investasi merupakan aktivitas tersendiri dan sektor swasta dan sektç pemerintah.

Penistiwa di mana investasi tidak sejalan dengan laju pertumbuhan produ nasional bruto ditemukan pada saat terjadinya resesi dalam sikius ekonomi

dalam perekonomian yang sedang mengalami inflasi. jika nilai produk nasioi bruto tetap tinggi dan tingkat suku bunga juga tinggi keadaan mi dapat menguran investasi.

Dengan mengkombinasikan semua faktor di atas yang memengaruhi permintaan investasi, kita dapat menghasilkan fungsi investasi dalam formasi:

Keberadaan i menyebabkan ketidakpastian dalam semua variabel, dalam fungsi di atas r mempunyai sifat acak dalam keberadaan i karena ketidakpastian yang disebabkan oleh harapan-harapan investor. Karenanya, Q tidak dapat meningkat selama masih terdapat kelambatan (lag) pada harapan-harapan investor. Juga karena penginvestasian kembali dan peningkatan Q tidak dapat direalisasikan, maka T mengalami kelambatan (lag) dan efek beruntun antara ketidakpastian yang disebabkan oleb i dan iklim ekonomi keseluruhan akan terbentuk.

Masuknya variabel i ke dalam fungsi investasi didasarkan pada asumsi bahwa pengusaha meminjam kredit dan bank untuk melakukan investasi. Itu sebabnya pengusaha akan membandingkan apakah return r dan bisnisnya lebih tinggi dan tingkat bunga i. Bila r > 1, maka ia akan melakukan investasi. Sebaliknya bila r <>

Dalam hal pengusaha menggunakan sumber dana dan perbankan syariah, maka yang perlu diubah hanyalah variabel suku bunga i, sedangkan variabel r tetap dapat digunakan karena merupakan profit dan usaha. Dalam perbankan syariah, variabel i dapat diganti dengan:

Ø Tingkat marjin m bila skim pembiayaannya tergolong NCC (Natural Certainty Contracts), atau

Ø Ekivalen rate dan bagi basil er bila skim pembiayaannya tergolong NUC4 (Natural Uncertainty Contracts)

Dengan demikian, untuk NCC kita dapat menghasilkan fungsi investasi dalam formasi:

Untuk NUC, kita dapat menghasilkan fungsi investasi dalam formasi:

Dengan demikian, secara makro, kita dapat menghasilkan fungsi investasi dalam formasi:

D. Fungsi Investasi Dalam Perekonomian Islami

Secara lebih spesifik, M.M Metwally (1993) mengembangkan suatu fungsi investasi dalam perekonomian Islami akan sangat berbeda dan perekonomian yang non-Islami (konvensional). Model yang dikembangkan mengasumsikan tingkat suku bunga nol. Ia mengganti variabel suku bunga dengan variable expected rate of profit (r). Penggantian variabel mi membawa perubahan mendasar karena tingkat suku bunga ditentukan oleh pasar kredit (credit market), dan bukan ditentukan oleh tingkat profitabilitas bisnis pengusaha. Sedangkan variable expected rate of profit ditentukan oleh karakteristik bisnis pengusaha.5 Asumsi lain yang digunakan adalah:

1. Terdapat denda untuk penimbunan aset-aset yang tidak termanfaatkan (idle assets),

2. Dilarangnya segala bentuk spekulasi dan tindakan perjudian.

3. Tingkat suku bunga pada semua jenis dana pinjaman adalah nol.

Jadi, para investor atau penabung Muslim dapat memilih di antara tiga alternatif untuk memanfaatkan dananya (a) memegang dananya dalam bentuk tunai (b, memegang dananya dalam bentuk aset-aset yang tidak menghasilkan pendapata (contoh: deposito bank, pinjaman, property, perhiasan) atau (c) menginvestasikadananya (menjadi investor dalam proyek yang dapat menambah persediaan modal negara).

Dua alternatif pertama tidak disarankan dalam perekonomian Islami karena seperti kita lihat, Islam mengikutsertakan biaya dalam bentuk zakat pada dana-dana yang tidak termanfaatkan (idle assets). Zakat diaplikasikan pada semua bentuk asetaset yang tidak termanfaatkan (uang tunai, perhiasan, pinjaman, deposito bank) yang telah memenuhi nisab dan kebutuhan hidup.

Menurut beberapa pandangan kontemporer, seorang Muslim yang menginvestasikan dana atau tabungannya tidak akan dikenakan pajak pada jumlah yang telah diinvestasikannya, tetapi dikenakan pajak pada keuntungan yang dihasilkan dan investasinya, karena dalam perekonomian Islami semua aset-aset yang tidak termanfaatkan dikenakan pajak, investor Muslim akan lebih baik memanfaatkan dananya untuk investasi daripada mempertahankan dananya dalam bentuk yang tidak termanfaatkan.

Islam juga melarang bentuk-bentuk spekulasi yang di dalam perekonomian nonIslami (konvensional) tidak terpisahkan, jenis-jenis spekulasi yang dilarang dalam

Islam tidak hanya mencakup perlombaan, permainan kartu dan aktivitas perjudian

lainnya, tetapi juga bentuk-bentuk transaksi yang melibatkan hasil yang akan datang

(forward transaction)

Faktor utama lain yang ikut memengaruhi tingkah laku investasi dalam perekonomian Islami adalah ketidakberadaan dan suku bunga. Islam melarang pembayaran bunga pada semua jenis pinjaman (pribadi, komersial, pertanian, industni, dan lainnya) walaupun pinjaman-pinjaman mi dilakukan untuk teman, perusahaan swasta maupun publik, pemenintah atau entitas lainnya.

Analisis di atas mengindikasikan bahwa dalam perekonomian Islami, tingkat bunga tidak masuk dalam perhitungan investasi, maka biaya kesempatan (opportunity cost) dan meminjamkan dana yang digunakan untuk kepentingan investasi adalah zakat yang dibayarkan pada dana-dana mi. Dengan kata lain, dana atau tabungan yang tidak dimanfaatkan pada investasi nil akan dikenakan zakat pada tingkat tertentu.

Jelaslah bahwa investasi di dalam perekonomian Islami adalah fungsi dan tingkat keuntungan yang diharapkan. Tingkat keuntungan yang diharapkan juga bergantung pada bagian relatif dan keuntungan yang dialokasikan antara investor dan mereka yang menyediakan dana-dananya pada bentuk kerja sama atau pinjaman.

Karenanya adalah mungkin untuk mengekspresikan fungsi investasi dalam

perekonomian Islami yang diperkenalkan oleh M.M Metwally6 sebagai:

Dan

Daftar pustaka

Suprayitno, Eko ekonomi islam/eko suprayitno edisi pertama, yogyakarta, penerbit graha ilmu, 2005

Ir. Adiwarman A. Karim, S.

Ekonomi Pembangunan

PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI ISLAM LIMA TAHUN KEDEPAN

Bangsa Indonesia telah genap 60 tahun merdeka. Bagi manusia, usia 60 tahun adalah usia yang sudah sangat matang mengarungi kehidupan dan mampu menjadi sosok yang bijak dalam memberi pandangan kehidupan bagi generasi yang lebih muda. Namun bagi sebuah bangsa, usia 60 tahun bisa dilihat secara relatif. Hal ini bisa dibandingkan secara relatif dengan Malaysia dan Vietnam. Kondisi ekonomi mereka relatif lebih baik dibandingkan Indonesia pada saat ini. Dari segi usia kemerdekaan, kedua negara tersebut lebih muda dari Indonesia.

Indikator ekonomi adalah salah satu parameter dalam menilai seberapa jauh kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan sejalan dengan usia kemerdekaan yang telah dilaluinya. Jika usia kemerdekaan sudah semakin lama namun belum memberikan kesejahteraan kepada rakyat maka ada sesuatu yang salah di dalamnya. Bangsa yang merdeka akan berusaha untuk memajukan rakyat dan negaranya sehingga lepas dari ketertinggalan dengan bangsa lain. Sejalan dengan usia kemerdekaan, nasib umat Islam juga belum menunjukkan adanya perbaikan yang signifikan dalam hal peningkatan kesejahteraan. Untuk itu perlu dilakukan terobosan agar umat Islam mampu meningkatkan kesejahteraannya. Upaya peningkatan kesejahteraan umat Islam pada dasarnya sejalan dengan peningkatan ekonomi Indonesia karena umat Islam adalah mayoritas rakyat Indonesia.

Guna mewujudkan kesejahteraan umat Islam, perlu adanya perencanaan pembangunan ekonomi Islam (PPEI). Yang dimaksud di sini adalah perencanaan yang berbasiskan kelembagaan dalam kerangka NKRI. PPEI pada dasarnya secara substansi sudah termaktub dalam UUD 1945 seperti masalah hak memperoleh pendidikan, keberpihakan kepada fakir miskin dan anak terlantar serta pemanfaatan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. Namun sayangnya UUD 1945 dilaksanakan dengan sistem dan kebijakan ekonomi yang belum mampu mengimplementasikan pemenuhan hak-hak rakyat. Selama ini ekonomi masih lebih bersandar kepada pemenuhan hak para pemilik modal. Pemilik modal memang bisa memberikan kesempatan kerja kepada rakyat dalam konteks mikro. Namun dalam konteks makro, nasib rakyat menjadi rentan. Dari segi APBN, angka-angka yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat berbenturan dengan masalah pembayaran utang dan subsidi BBM. Problema ini pada akhirnya tidak bisa membantu memecahkan masalah riil ekonomi rakyat.

Untuk itu, PPEI diperlukan dalam memberikan solusi bagi ekonomi Indonesia. PPEI dalam konteks saat ini mengacu kepada penguatan fungsi kelembagaan, yaitu lembaga pengelola zakat, infak, sodaqoh dan wakaf (ziswaf) dan lembaga keuangan syariah baik bank maupun non bank. Kedua lembaga ini telah ada di Indonesia, sehingga bisa dijadikan wadah implementasi PPEI.

PPEI adalah kerangka kerja untuk mengkoordinasikan lembaga-lembaga yang sudah ada untuk lebih bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki dan untuk meningkatkan skala keekonomian sehingga bisa memberikan pengaruh secara signifikan kepada masalah ekonomi umat.

Membangun dan Mengelola Altruisme
Lembaga pengelola ziswaf (LPZ) memiliki peran untuk membangun dan mengelola altruisme masyarakat. Selama ini LPZ terkesan sebagai lembaga pengumpul dan pendistribusi ziswaf. Dengan demikian LPZ belum bisa menjadi pusat pembangunan dan pengelolaan altruisme masyarakat.

Pada dasarnya masyarakat memiliki altruisme, namun mereka terkadang tidak bisa mengelola sendiri dan mengakibatkan sedikitnya dana ziswaf yang bisa dikumpulkan. Tingginya altruisme masyarakat bisa dilihat dari beberapa contoh kasus. Pertama adalah tingginya solidaritas masyarakat terhadap penderitaan masyarakat Aceh yang diterjang bencana tsunami. Kedua, kasus seorang bapak yang tidak bisa menguburkan anaknya di Jakarta karena harus mengeluarkan biaya sehingga ia berencana menguburkan anaknya di Bogor. Masyarakat memberikan perhatian ketika media mengungkapkan hal ini. Ketiga, kisah seorang buruh yang anaknya ditolak enam rumah sakit karena tidak mampu memberikan uang jaminan. Setelah media memberitakan ke publik, terkumpul dana yang cukup banyak. Melihat hal demikian, masyarakat masih menyalurkan altruismenya secara insidental. Padahal akan lebih baik bila mereka melakukan secara rutin. Di sini terlihat bahwa masyarakat masih belum mengenal LPZ sehingga altruisme insidental lebih mereka sukai. Tugas LPZ salah satunya adalah merubah masyarakat agar bisa menyalurkan altruisme mereka secara rutin.

PPEI berfungsi mengoptimalkan peran LPZ yang ada untuk meningkatkan jumlah dana dari masyarakat sehingga diharapkan bisa membantu masalah APBN dalam jangka panjang. Karakter ziswaf yang didistribusikan kepada umat yang membutuhkan memperlihatkan terjadinya distribusi aset dari pihak mampu kepada pihak yang kurang mampu. Hal ini secara tidak langsung bisa menutupi dana pajak masyarakat yang di dalam APBN dipergunakan untuk melunasi hutang sehingga tidak terjadi distribusi aset. Jika hal ini terjadi dalam skala ekonomi yang besar, maka rakyat miskin akan terbantu secara riil. Berbeda dengan penyaluran dana kompensasi subsidi BBM yang rawan dengan penyelewengan oleh oknum aparat. Meskipun pemerintah sudah berupaya optimal, ziswaf tetap diperlukan karena karakter dan ketentuannya lebih spesifik.

PPEI akan menjadi kerangka penguat hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi LPZ dan altruisme masyarakat. PPEI akan lebih efektif bila mendapat dukungan dari pihak eksekutif, legislatif maupun yudikatif sehingga secara efektif bisa memberikan solusi dalam melakukan aktivitas pembangunan dan pengelolaan altruisme masyarakat melalui LPZ. Namun untuk mencapai hal ini tidaklah mudah, butuh kesungguhan dari para stake holder PPEI. Saat ini adalah momen yang tepat untuk menjadikan PPEI sebagai langkah awal kebersamaan stake holder dalam membangun ekonomi Islam ke depan.

Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan tepat yang diperlukan-setelah melihat pelbagai opsi yang ada berdasarkan sumber daya yang tersedia-untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan yang ingin dicapai bisa segera atau bisa di kemudian hari, yang secara umum dapat dikategorikan ke dalam tujuan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Tindakan yang perlu diambil dapat berupa kebijakan, misalnya, menyesuaikan harga BBM atau kegiatan fisik, misalnya membangun proyek jalan raya. Jadi ada rencana kebijakan (policy plan) dan rencana kegiatan fisik (physical plan).

Perencanaan dapat dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat/swasta. Perencanaan pemerintah dapat dilakukan secara terpusat oleh pemerintah pusat atau terdesentralisasi bersama dengan pemerintah daerah. Ruang lingkup rencana dapat bersifat nasional, regional, atau sektoral; dapat juga bersifat makro/menyeluruh, atau mikro. Jadi perencanaan merupakan suatu proses yang sangat bermanfaat karena dapat

membantu kita di dalam mengelola hidup kita ke arah yang lebih baik,

termasuk kehidupan kita sebagai suatu bangsa. Karena kita ingin memperbaiki hidup bangsa kita melalui pembangunan, maka perencanaan pembangunan jelas merupakan suatu proses yang sangat membantu.

Namun, sifat, ruang lingkup, dan pelaku perencanaan pembangunan itu sendiri dapat berubah sesuai dengan dinamika pembangunan. Hal itu telah terjadi di banyak negara berkembang dan juga terjadi di Indonesia.

Awal pembangunan. Pada tahap awal pembangunan Indonesia, pemerintah khususnya pemerintah pusat, memegang peranan yang dominan di dalam pembangunan nasional beserta perencanaannya karena pemerintah pusatlah yang memiliki kemampuan dana-yang berasal dari minyak dan bantuan/pinjaman luar negeri-maupun daya.

Sedangkan pemerintah daerah maupun masyarakat/swasta belum memiliki kemampuan tersebut. Akibatnya, pemerintah pusatlah yang melakukan hampir segala jenis kegiatan pembangunan termasuk perencanaannya. Masyarakat dan swasta hanya mendukung rencana pemerintah, baik sebagai supplier maupun kontraktor atau subkontraktor dari proyek pemerintah. Jadi pemerintah pusat berdiri paling depan, sedangkan masyarakat/swasta menyokong dari belakang. Perencanaan pembangunan juga dilakukan secara menyeluruh dan terpusat dan dipercayakan kepada badan khusus, yaitu Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional (Bappenas) yang direorganisasi dalam tahun 1967, di mana Bappenas melakukan perencanaan kegiatan fisik/proyek bersama dengan departemen teknis maupun perencanaan kebijakan untuk menopang kegiatan fisik pemerintah. Untuk menjamin bahwa rencana pemerintah ini diikuti oleh semua pihak, termasuk departemen teknis, maka kepada Bappenas diberikan wewenang pembiayaan pembangunan.

APBN pada waktu itu dibagi dalam anggaran rutin dan anggaran pembangunan, dengan alokasi anggaran pembangunan ditentukan oleh Bappenas. Departemen Keuangan hanya mengadakan penghitungan mengenai penerimaan dalam negeri serta pengeluaran rutin untuk mengetahui besarnya tabungan pemerintah yang merupakan salah satu komponen anggaran pembangunan di samping pinjaman luar negeri yang pemanfaatannya juga menjadi wewenang Bappenas. Dengan demikian, di samping merencanakan hampir seluruh kegiatan pembangunan, Bappenas juga menetapkan prioritas pembiayaannya.

Semuanya ini dilaksanakan berdasarkan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang merupakan ketetapan MPR yang berisikan tujuan negara dalam garis besar serta strategi dasar untuk mencapainya. Dari situ disusun rencana pembangunan jangka panjang 25 tahun serta rencana pembangunan lima tahun (repelita) dan rencana tahunan yang pada dasarnya adalah anggaran pembangunan setiap tahunnya. Itu dahulu, dan memang sesuai dengan tuntutan zamannya. Perencanaan masa depan dengan semakin berhasilnya pembangunan nasional yang diselenggarakan pemerintah, kemampuan masyarakat dan swasta juga semakin meningkat, baik dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan fisik/proyek maupun kemampuan

dana untuk membiayainya. Sedangkan di lain pihak, kemampuan dana pemerintah semakin menurun. Dengan demikian, perencanaan pembangunan khususnya perencanaan kegiatan fisik/proyek, juga semakin bergeser ke masyarakat dan swasta.

Namun, peranan pemerintah Bappenas dan Departemen Keuangan masih tetap relevan, hanya saja sifatnya berubah.

  • Pertama, kegiatan fisik pemerintah semakin menurun dan terbatas hanya pada penyediaan public goods, seperti air minum, tenaga listrik, telepon, sekolah, dan rumah sakit/puskesmas. Dengan digabungkannya anggaran rutin dan anggaran pembangunan, maka wewenang anggaran sepenuhnya berada di tangan Departemen Keuangan. Karena itu, perencanaan fisik yang menyangkut public goods, baik dalam jangka menengah dalam bentuk Medium Term Expenditure Framework maupun dalam bentuk anggaran pembangunan tahunan, akan lebih efektif dilaksanakan oleh Departemen Keuangan bersama-sama dengan departemen teknis dan bukan lagi oleh Bappenas karena Bappenas tidak lagi memiliki budget power. Namun, untuk itu dibutuhkan masa transisi karena dewasa ini Departemen Keuangan belum memiliki kemampuan perencanaan kegiatan fisik seperti yang dimiliki dan dibangun Bappenas selama 35 tahun lebih.
  • Kedua, karena sebagian besar kegiatan fisik pembangunan berada di tangan masyarakat/swasta, untuk menjamin bahwa kegiatan masyarakat itu secara menyeluruh akan mengarah pada sesuatu yang kita inginkan bersama, maka diperlukan suatu kesepakatan nasional mengenai tujuan umum ke mana pembangunan bangsa ini mengarah atau suatu visi mengenai masa depan. Jadi perlu semacam GBHN yang dulu merupakan TAP MPR. Namun, karena tidak ada GBHN lagi, maka perlu ada suatu rencana indikatif jangka panjang yang disepakati bersama dalam bentuk undang-undang/UU (sebagai pengganti GBHN) yang memberikan indikasi ke mana bangsa ini mau dibawa dalam misalnya 20-25 tahun yang akan datang; apa tantangan yang akan dihadapi dan strategi untuk mengatasinya dengan disertai proyeksi mengenai pelbagai skenario yang mungkin terjadi. Rencana indikatif jangka panjang ini perlu disusun oleh pemerintah Bappenas melalui suatu proses konsultatif dari bawah yang pada akhirnya menghasilkan suatu kesepakatan bersama bukan proses sosialisasi seperti sekarang ini, di mana pemerintah sudah memutuskan sendiri dan hanya menjelaskan kepada masyarakat. Jadi peranan Bappenas masih penting dan strategis di dalam merumuskan rencana indikatif tersebut.
  • Ketiga, karena sebagian besar kegiatan fisik pembangunan sudah berada di tangan masyarakat/swasta, maka masyarakat/swasta sekarang berada di depan sebagai pelopor pembangunan dan pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan bukan saja dengan menyediakan public goods, tetapi juga melalui kebijakan publik untuk mengarahkan dan mendukung kegiatan masyarakat/swasta. Perencanaan atau penyusunan kebijakan ini yang harus dibuat oleh pemerintah dan lembaga pemerintah yang tepat, untuk itu adalah Bappenas. Karena yang direncanakan adalah kebijakan, maka sifatnya adalah issue-oriented, strategis dan lintas-sektoral bukan sektoral seperti dalam kegiatan fisik. Jadi semacam white paper yang dihasilkan oleh banyak negara. Proses pembentukannya pun harus partisipatif konsultatif dari bawah di mana pemerintah dengan sungguh-sungguh mendengar pandangan dari masyarakat karena kebijakan itu dimaksudkan untuk memfasilitasi rencana dan kegiatan masyarakat. Jadi seperti apa yang diperjuangkan United Nations Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR) melalui Jajaki (Jaringan Kebijakan Publik Indonesia), suatu proses pembentukan kebijakan publik dengan melibatkan semua stakeholders atau suatu networking among all stakeholders. Jadi dinamika pembangunan Indonesia menuntut adanya perubahan dalam peranan pemerintah, termasuk peranan Bappenas dan Departemen Keuangan di dalam perencanaan pembangunan. Perubahan yang sama juga terjadi di negara berkembang lainnya seperti Korea Selatan di mana Economic Planning Board/EPB terutama fungsinya sebagai perencana fisik sekarang digabung dengan Kementerian Keuangan.

Bappenas yang merumuskan rencana indikatif jangka panjang dan rencana kebijakan berupa white papers tetapi tidak lagi memiliki budget power, sebaiknya bukan merupakan suatu kementerian, melainkan suatu badan khusus yang bukan saja bertanggung jawab langsung kepada presiden, tetapi merupakan badan di dalam lembaga kepresidenan yang menyuarakan suara presiden. Bertolak belakang Penggeseran di dalam sifat perencanaan pembangunan nasional di Indonesia, termasuk peranan Bappenas dan Departemen Keuangan, seharusnya tercermin di dalam UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Sayangnya hal itu tidak terjadi bahkan terkesan kedua UU tersebut yang tidak disusun bersama-sama sebagai satu paket justru bertolak belakang; mungkin karena ketua Bappenas dan menteri keuangan pada waktu itu tidak dapat berkomunikasi secara baik. Masing-masing tampak mau mempertahankan wilayahnya.

Arah UU No 17/2003 memang benar, tetapi pelaksanaannya tidak memperhitungkan bahwa Departemen Keuangan masih harus membangun kapasitasnya di dalam hal perencanaan fisik. Sebaliknya, UU No 25/2004 masih terbuai di dalam pola lama di mana Bappenas masih berkecimpung di dalam perencanaan kegiatan fisik yang sifatnya operasional, sektoral, dan menyeluruh; bahkan definisi perencanaan di dalam UU No 25/2004 pun sangat keliru. Beberapa saran Untuk mengembalikan peranan perencanaan pembangunan ke jalur yang semestinya sesuai dengan tuntutan dinamika pembangunan, maka kami mengusulkan agar:

1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), yang sedang disusun,

diperbaiki lagi melalui suatu proses konsultasi yang lebih intensif untuk

menghasilkan suatu kesepakatan bersama, sedangkan format dan isinya

diperbaiki sehingga menjadi suatu rencana indikatif yang efektif.

2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang telah disusun perlu

disesuaikan sehingga menjadi satu paket policy papers atau white papers yang issue-oriented, strategis, dan lintas-sektoral. Kalau tidak dapat diubah

lagi, ya paling sedikit dilengkapi dengan white papers yang issue-oriented.

3.Bappenas dan Departemen Keuangan yang komunikasi di antara pimpinannya dewasa ini sudah lebih baik, segera mengambil langkah-langkah untuk mengadakan revisi guna menyinkronkan UU No 25/2004 dengan UU No 17/2003 dengan memperhatikan kecenderungan global dan dinamika pembangunan di Indonesia. Kalau tidak, kita akan terus bertanya-tanya: Perencanaan pembangunan, mau ke mana?

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2007 diperkirakan mencapai atau setidaknya mendekati target yang ditetapkan pemerintah di dalam APBN 2007. Momentum percepatan pertumbuhan sudah kembali hadir, sebagaimana ditandai oleh pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang praktis selama enam triwulan berturut-turut menunjukkan peningkatan terus menerus. Pada tahun 2007 ini pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan sekitar 6,2 persen, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan Asean-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam) sebesar 5,9 persen.

Kestabilan makroekonomi cukup terjaga dengan kecenderungan membaik. Hal ini antara lain tercermin dari nilai tukar Rupiah yang relatif tak bergejolak, kecenderungan penurunan suku bunga, dan laju inflasi yang jauh lebih rendah dari tahun 2006. Kinerja neraca pembayaran (balance of payments) juga membaik di segala lini: akun perdagangan barang (trade account), akun semasa (current account), maupun akun modal (capital account). Perbaikan kinerja neraca pembayaran bermuara pada peningkatan cadangan devisa yang cukup signifikan. Posisi cadangan devisa per 30 November 2007 tercatat sebesar US$54,9 miliar, suatu peningkatan tajam dibandingkan posisi akhir tahun 2006 sebesar US$34,7 miliar. Di akhir November, cadangan devisa sempat menurun sebesar US$1,1 miliar dibandingkan posisi seminggu sebelumnya, yang terutama akibat upaya menolong nilai tukar Rupiah yang sedang tertekan. Namun, seminggu kemudian (7 Desember) naik kembali menjadi US$55,1 miliar.

Sementara itu, di pasar modal diwarnai oleh rekor-rekor baru IHSG (indeks harga saham gabungan), SUN (Surat Utang Negara) yang terus diminati oleh investor domestik maupun asing, serta ORI (Obligasi Republik Indonesia) yang selalu terserap oleh investor perseorangan dengan nilai yang melebihi target. Dilihat dari komposisi SUN yang dipegang oleh investor asing terlihat bahwa yang jatuh tempo di atas 10 tahun menduduki porsi terbesar. Ini menandakan bahwa di mata investor institusional asing, prospek ekonomi Indonesia dalam jangka panjang cukup menjanjikan.

Sejak semester kedua 2007 ekspansi kredit perbankan meningkat relatif tajam, dan lebih tinggi ketimbang peningkatan dana pihak ketiga. Sehingga, LDR (loan-to-deposit ratio) juga naik mendekati 70 persen, dengan catatan bahwa jumlah kredit yang belum dicairkan (undisbursed loans) masih tetap tinggi. Dari gambaran di atas, bisa disimpulkan bahwa secara umum dan agregat, kinerja perekonomian Indonesia selama tahun 2007 menunjukkan kemajuan yang cukup baik. Namun, jika kita telaah lebih mendalam dan rinci, gambarannya tak sebaik “tampak luar”. Paling tidak, pola dan arah perkembangan ekonomi menunjukkan mixed signals. Seandainya signals yang terhadirkan lebih konsisten, niscaya perkembangan ekonomi Indonesia akan jauh lebih baik dan sekaligus lebih tangguh dalam menghadapi goncangan eksternal dan menjawab persoalan-persoalan sosial di dalam negeri.

Pola Pertumbuhan Sektoral

Selama lima tahun terakhir pola pertumbuhan sektoral menunjukkan kesenjangan yang masih cenderung lebar antara sektor tradable dan non-tradable. Sektor tradable tumbuh relatif jauh di bawah pertumbuhan PDB; sebaliknya sektor non-tradable menunjukkan pertumbuhan yang selalu lebih tinggi dari PDB. Dengan pengecualian sektor pertanian pada triwulan III 2007 yang tumbuh “menakjubkan” (8,9 persen), seluruh unsur sektor tradable (pertanian, pertambangan & penggalian, dan industri manufaktur) mengalami tekanan. Sebetulnya, industri manufaktur sempat menunjukkan tanda-tanda kebangkitan pada paruh pertama 2007, namun memasuki triwulan ketiga kembali “loyo”, terutama karena diterjang oleh kenaikan tajam harga energi (bahan bakar minyak dan listrik)). Kemerosotan pertumbuhan industri manufaktur terjadi hampir merata. Perlu dicatat bahwa selama periode prakrisis, industri manufaktur tumbuh rata-rata jauh di atas PDB, bahkan tak jarang mencapai dua digit.

Primadona di sektor non-tradable adalah subsektor komunikasi yang dalam lima tahun terakhir selalu tumbuh di atas 20 persen dan subsektor transportasi udara yang tumbuh rata-rata di atas 10 persen. Subsektor lain yang tumbuh di atas PDB dengan cukup konsisten ialah keuangan nonbank, perdagangan besar & eceran, serta listrik, air & gas, dan konstruksi. Berarti, pertumbuhan tinggi di sektor non-tradable terjadi secara relatif merata.

Bertolak dari pola demikian, maka bisa disimpulkan bahwa ada faktor struktural yang membuat pola pertumbuhan sektoral semakin kontras: tradable versus non-tradable. Pola pertumbuhan yang kontras seperti itu lazimnya terjadi di negara yang telah melalui tahapan industrialisasi yang matang. Sementara di Indonesia industrialisasi masih menuju pematangan di tahap industrializing. Dengan kata lain, peranan sektor industri manufaktur sebetulnya masih bisa dipacu hingga mencapai sekitar 35 persen dari PDB. Setelah itu, baru lambat laun mulai berkurang. Jika peranan sektor industri manufaktur masih di bawah 30 persen tapi sudah mandeg, bahkan turun walau sangat tipis, berarti ada tanda-tanda kita mengalami “deindustrialisasi” dini. Ini menandakan kualitas pertumbuhan sektoral tidak optimal, sehingga sulit diharapkan memberikan sumbangan berarti bagi penurunan angka pengangguran dan kemiskinan serta perbaikan ketimpangan.

Pola pertumbuhan berdasarkan Penggunaan

Kualitas pertumbuhan juga terancam jika ditopang oleh komponen-komponen penggunaan (expenditure) yang kurang menjamin kesinambungan pertumbuhan. Selama 5 tahun terakhir, penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi berasal dari konsumsi privat (private consumption). Bahkan dalam lima triwulan terakhir pertumbuhan konsumsi privat tumbuh semakin kencang. Jika kita melihat trend penyaluran kredit perbankan, tampak bahwa pertumbuhan kredit konsumsi jauh melebihi kredit investasi selama periode 2003-05, lalu merosot dengan pertumbuhan negatif pada tahun 2006, namun kembali melonjak pada tahun 2007. Patut diduga bahwa peningkatan laju pertumbuhan konsumsi privat makin ditopang oleh kredit (utang). Hal ini tentu saja tidak akan bisa bertahan lama, sehingga diperkirakan pada tahun 2008 sumbangsih konsumsi privat dalam pertumbuhan ekonomi akan melemah.

Penyumbang pertumbuhan yang belakangan ini cukup menonjol ialah ekspor. Namun, sejalan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan laju perdagangan dunia, pertumbuhan ekspor mulai melamban pada triwulan III 2007. Kecenderungan tersebut tampaknya akan berlanjut pada tahun mendatang. Pada waktu yang bersamaan pertumbuhan impor justru diperkirakan lebih tinggi. Sehingga, ekspor neto cenderung akan menyusut.

Agar bisa mengimbangi kecenderungan menurunnya sumbangan konsumsi privat dan ekspor neto (ekspor dikurangi impor), mau tak mau pilihan harus diarahkan pada investasi yang diukur berdasarkan data pembentukan modal tetap (fixed capital formation). Sayangnya, sejauh ini pertumbuhan investasi masih sangat labil. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2004, yakni 15,7 persen. Namun setelah itu melorot menjadi 9,9 persen pada tahun 2005 dan hanya 2,9 persen pada tahun 2006. Dalam empat triwulan terakhir, pertumbuhan investasi berfluktuasi sekitar 6,9 hingga 8,8 persen. Ini masih berada di bawah target pemerintah sebesar 12 persen. Jika kita telusuri lebih lanjut, ternyata gambaran pembentukan modal tetap kian kurang menjanjikan bagi terpeliharanya landasan pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang kokoh. Sekitar 76 persen dari pembentukan modal tetap adalah dalam bentuk konstruksi (bangunan), sedangkan yang dalam bentuk mesin dan alat transport masing-masing hanya 6,4 persen untuk domestik dan 17,2 persen untuk luar negeri (impor). Agar investasi memberikan kontribusi yang lebih signifikan bagi penyerapan tenaga kerja, maka porsi mesin harus lebih didorong.

Pengeluaran pemerintah, baik dalam bentuk konsumsi dan investasi, tampaknya kurang bisa diharapkan, mengingat pada tahun 2007 dan 2008 APBN harus menanggung beban subsidi yang sangat berat akibat tingginya harga minyak dan kemerosotan produksi minyak di dalam negeri. Juga beban yang masih cukup besar untuk pembayaran bunga utang dalam negeri dan luar negeri. Ditambah lagi dengan kendala birokrasi yang membuat masih tersendatnya realisasi anggaran investasi pemerintah.

Lingkungan Global

Risiko terjadinya resesi dunia sebagai akibat dari krisis sektor keuangan (sub-prime mortgage) di Amerika Serikat (AS) tampaknya telah mengalami penurunan setelah dilakukannya beberapa langkah pre-emptive oleh Bank Sentral Amerika dalam bentuk penurunan suku bunga kebijakannya ke arah 3,5 persen di tahun 2008, serta beberapa rencana US Treasury untuk membantu masyarakat kurang mampu di AS supaya tidak kehilangan kepemilikan rumah mereka. Namun, tetap saja perekonomian AS akan mengalami perlambatan laju pertumbuhan, yang kemungkinan juga akan diikuti oleh sedikit perlambatan laju pertumbuhan di beberapa negara di Asia, termasuk China dan India yang merupakan motor pertumbuhan Asia dan juga dunia. Perlambatan laju pertumbuhan beberapa negara mitra dagang utama Indonesia ini kemungkinan akan sedikit mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2008 melalui sedikit perlambatan dalam laju pertumbuhan ekspor Indonesia. Perkiraan penurunan suku bunga kebijakan di AS (US Fed funds rate) yang cukup signifikan sampai semester 1 tahun 2008 seharusnya dapat membuka ruang gerak yang lebih besar bagi Bank Indonesia (BI) guna menurunkan kembali suku bunga kebijakannya (BI rate). Namun karena ancaman inflasi yang masih relatif tinggi (akibat kenaikan dan tetap tingginya harga-harga komoditi di pasar global (minyak dan gas, serta bahan makanan), tampaknya ruang gerak itu akan mengecil drastis, kalau tak hendak dikatakan hilang sama sekali.

Ancaman inflasi ini juga dialami oleh negara-negara berkembang di Asia dan Amerika Latin, sehingga diperkirakan akan terjadi pengetatan moneter di negara-negara yang mengalami tekanan inflasi tersebut. Indonesia sendiri mungkin akan bisa menghindari proses terjadinya pembalikan arah suku bunga kebijakan—tak perlu menaikkan suku bunga kebijakannnya—asalkan tekanan laju inflasi dapat dikurangi dengan beberapa kebijakan pangan, energi, dan perbaikan infrastruktur guna memperlancar distribusi barang dan jasa. Namun tampaknya masih terdapat kerancuan dalam pembagian wilayah wewenang dan tanggung jawab yang berkaitan dengan logistics antara Departemen Perhubungan dan Departemen Perdagangan.

Trend pelemahan nilai dollar AS yang sudah terjadi selama ini, mungkin akan terus berlangsung, sejalan dengan akan makin melebarnya gap suku bunga di AS dibandingkan dengan negara-negara lain. Namun, anehnya, hal itu tidak terjadi dengan nilai nominal mata uang Indonesia (Rupiah), yang diperkirakan akan masih sedikit tertekan di kisaran Rp 9.250 – 9.400 per dollar AS di tahun 2008. Nilai riil Rupiah memang akan tetap menguat, yang berarti akan terjadi penurunan daya saing dari produk-produk Indonesia di pasar dunia, terutama sekali untuk produk-produk hasil industri manufaktur nonmigas.

Pelemahan nilai nominal Rupiah tampaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor domestik, seperti naiknya kebutuhan impor barang dan jasa sejalan dengan kecenderungan terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi di tahun 2008, serta bertambah besarnya permintaan atas dollar AS oleh Pertamina membiayai impor minyak mentah dan BBM, sementara penambahan suplai dollar dari ekspor migas tidak masuk ke pasar valuta asing, melainkan langsung menambah cadangan devisa BI.

Tampaknya penghematan penggunaan BBM dan peningkatan produksi BBM dalam negeri merupakan suatu keharusan supaya Indonesia tidak lagi selalu tertekan oleh tingginya harga minyak dunia. Ironis memang bila mengingat Indonesia sebagai salah satu penghasil migas dunia harus menghadapi masalah setiap kali harga BBM naik dengan pesat, demikian pula kalau melorot tajam. Kebijakan pemerintah untuk mempercepat proses produksi migas yang juga disertai dengan usaha penghematan dan penurunan konsumsi migas, termasuk pengalihan ke sumber energi yang dapat terbarukan (renewable) tampaknya tidak dapt ditawar-tawar lagi. Namun, tentu saja untuk merealisasikannya butuh waktu.

Salah satu risiko yang masih tetap menghantui perekonomian Indonesia, walaupun selama ini dampaknya masih relatif terbatas di sektor keuangan saja, adalah bila terjadi pembalikan arus modal masuk portofolio secara deras, baik karena para investor asing itu menjadi lebih risk averse atau karena terjadinya yendaka (penguatan nilai Yen Jepang secara cepat) yang memicu terjadi pembalikan arah Yen carry trade, atau juga karena faktor-faktor domestik yang dianggap sudah tidak lagi mendukung perolehan imbal hasil yang tinggi bagi investor asing tersebut.

Kebutuhan pembiayaan APBN yang cukup besar dalam bentuk obligasi pemerintah di tahun 2008, jika tidak dikelola dengan baik, akan dapat menaikkan tingkat risiko pembalikan arus modal masuk ini. Pengembangan pasar-pasar khusus untuk surat berharga negara (SBN), seperti obligasi ritel, peningkatan peran daerah surplus dalam membeli SBN, serta pengembangan surat berharga syariah menjadi suatu keharusan.

Prospek Jangka Pendek (2008)

Indonesia sebetulnya sudah mulai kembali muncul di dalam radar FDI (foreign direct investment). Berdasarkan kajian EIU (Economist Intelligence Unit, 2007), untuk periode 2007-2011, posisi Indonesia berada pada urutan 36 dalam daftar penerima FDI. Pada periode tersebut, FDI yang masuk ke Indonesia diperkirakan sekitar US$6,6 miliar rata-rata setahun. Daya tarik Indonesia memang belum seperti di era 1980-an. Negara-negara yang menjadi primadona FDI dewasa ini dan lima tahun mendatang ialah: China, India, dan sejumlah negara Eropa Timur.

Kemunculan Indonesia dalam radar FDI sejalan dengan perbaikan skor lingkungan bisnis (business environment score) dari 5,39 pada periode 2002-06 menjadi 6,21 pada periode 2007-11. Namun, perbaikan skor yang cukup lumayan ini tak mengangkat peringkat. Bahkan, peringkat Indonesia turun satu tingkat, dari ke-60 pada periode 2002-06 menjadi ke-61 pada periode 2007-11. Hal ini terjadi karena perbaikan lingkungan bisnis di negara-negara lain pada umumnya lebih cepat daripada Indonesia.

Boleh dikatakan perbaikan yang terjadi di Indonesia baru sebatas memenuhi syarat minimum atau batas investment grade. Hal ini antara lain terlihat dari rating dalam risiko berbisnis (the risk of doing business) yang hanya bernilai C. Ibarat dalam penilaian ujian, nilai C adalah batas kelulusan. Jika sekedar lulus paspasan, sudah barang tentu FDI yang masuk pun tidak bisa diharapkan yang berkualitas tinggi.

Agar bisa meningkatkan kualitas FDI yang masuk khususnya dan kualitas pertumbuhan umumnya, maka sekedar lebih baik saja tak cukup (good is not good enough). Kita harus memacu diri untuk berbenah lebih seksama, paling tidak dengan kecepatan yang sama—syukur kalau lebih tinggi—dengan negara-negara pesaing utama.

Untuk mewujudkan tekad tersebut, cara pandang dan penanganan tak bisa lagi linear. Di dunia yang bercirikan dinamika non-linear, kita dituntut untuk menggunakan strategi dan pendekatan yang juga bersifat non-linear. Uraian lebih rinci bisa dilihat pada bagian selanjutnya.

Dengan menyadari bahwa persoalan-persoalan dan tantangan-tantangan yang menghadang lebih bersifat struktural yang membutuhkan perubahan cara pandang dan pendekatan baru, maka gerak maju perekonomian Indonesia dalam jangka pendek ke depan tak bisa menjanjikan perbaikan spektakuler. Misalnya pertumbuhan ekonomi melonjak seperti China, India, dan Vietnam. Mencapai 7 persen saja sudah sangat sulit.

Oleh karena itu, perekonomian Indonesia 2008 diperkirakan hanya tumbuh sedikit lebih tinggi dari tahun 2007, namun hampir tertutup kemungkinan bisa mencapai target APBN 2008 sebesar 6,8 persen. Pertumbuhan maksimum diperkirakan hanya sekitar 6,5 persen. Hal ini juga disebabkan oleh kendala di sisi supply (supply constraints) yang sudah barang tentu tak bisa diatasi dalam jangka pendek. Keterbatasan infrastruktur akan menjadi kendala yang kian dirasakan. Volume dan kualitas pasokan listrik praktis tak akan bertambah, sementara tarif listrik untuk industri akan terus dinaikkan. Sama halnya dengan kapasitas pelabuhan dan jalan yang juga tak akan beranjak dari kondisi sekarang. Sementara itu, peluang pemompaan dana APBN akan terkendala oleh rendahnya efektivitas pengeluaran pemerintah pusat maupun daerah.

Kendala infrastruktur semakin terasa di luar Jawa, sehingga potensi keuntungan dari membubungnya harga-harga komoditas perkebunan dan pertambangan tak sepenuhnya bisa terwujud secara optimal. Padahal, booming komoditas perkebunan dan pertambangan bisa menjadi pengimbang dan sekaligus pengompensasi dari berakhirnya era kejayaan migas. Selain itu, tambahan penerimaan negara dalam bentuk pajak maupun nonpajak bisa disalurkan untuk membantu sektor-sektor maupun kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang tertekan akibat kenaikan tajam harga minyak. Tidak sepatutnya windfall profit dari komoditas digunakan untuk menambal subsidi BBM yang terus menggelembung, karena sama saja artinya kita menoleransikan pemborosan energi yang kian langka.

Menyadari bahwa belakangan ini telah terjadi perubahan dinamika di dalam perekonomian Indonesia, analisis tentang prospek ekonomi agaknya harus pula memasukkan dimensi spatial. Pola pertumbuhan yang kontras antara sektor tradable dan non-tradable cenderung menekan kehidupan di Jawa untuk penduduk berpendapatan rendah, karena sebagian besar industri manufaktur berlokasi di Jawa. Pertumbuhan subsektor pertanian pangan yang masih tertekan dan merupakan penyumbang terbesar sektor pertanian di Jawa turut memperberat tekanan. Sebaliknya, penduduk berpendapatan tinggi yang hidup dari jasa-jasa modern—yang mayoritas berada di kota-kota besar di Jawa—menikmati pertumbuhan yang relatif sangat tinggi. Kecenderungan inilah yang menyebabkan indeks kesenjangan (gini coefficient) memburuk, bahkan naik tajam pada tahun 2007. Penyumbang terbesar dari kesenjangan ini adalah Jawa.

Sementara itu, penduduk di daerah luar Jawa, khususnya Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, pada umumnya menikmati kehidupan yang lebih baik. Hampir seluruh komoditas yang harganya belakangan ini melonjak dihasilkan di luar Jawa. “Keberuntungan” luar Jawa bertambah karena tak banyak terkena imbas perlambatan laju pertumbuhan industri manufaktur yang memang terkonsentrasi di Jawa. Sayangnya potensi luar Jawa kurang bisa dioptimalkan karena terkendala oleh keterbatasan infrastruktur. Naiknya harga-harga komoditas primer di pasar dunia yang disertai dengan relatif lambatnya laju pertumbuhan sektor industri manufaktur telah membuat terjadinya ketimpangan peningkatan daya beli antara Jawa dan luar Jawa. Secara nasional Nilai Tukar Petani (NTP) memang mengalami kenaikan sebesar 2.52%yoy dalam bulan September 2007 (walaupun hanya naik sebesar 0.09% selama sembilan bulan di tahun 2007). Namun ternyata NTP (tahun dasar 1993) yang tertinggi kebanyakan berada di propinsi luar Jawa. Lima besar propinsi dengan NTP tertinggi adalah Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Bali.

Pola ketimpangan Jawa – luar Jawa juga terlihat dari turunnya dan relatif rendahnya upah riil buruh tani di Jawa, padahal sebagian terbesar tenaga kerja di sektor pertanian (sekitar 43% dari total orang yang bekerja secara nasional) berada di sektor pertanian di Jawa. Quo vadis program revitalisasi pertanian yang telah dicanangkan oleh pemerintah? Program proteksi harga komoditas pertanian pangan yang dilakukan pemerintah tak tampak memberikan manfaat bagi petani, melainkan meningkatkan margin perdagangan saja. Kalaupun ada peningkatan upah riil buruh tani di luar Jawa, hal itu lebih disebabkan oleh membaiknya harga komoditas primer di pasar dunia, bukan oleh kebijakan pemerintah untuk mensupport sector pertanian. Data BPS menunjukkan upah nominal buruh tani di Jawa sebesar Rp. 13.373,- per hari, sementara upah nominal buruh tani di luar Jawa sebesar Rp. 18.771,- per hari. Upah riil buruh tani di Jawa mengalami penurunan sebesar 2.07%yoy, sementara upah riil buruh tani luar Jawa naik 0.82%yoy pada bulan September 2007.

Sementara itu, nilai upah riil (yang mencerminkan daya beli) buruh informal di perkotaan (terutama sekali di Jawa) mengalami penurunan di tahun 2007 (data sampai bulan November), sebesar 0.81%yoy untuk buruh bangunan, sebesar 3.78%yoy untuk buruh potong rambut wanita, dan sebesar 0.91%yoy untuk pembantu rumah tangga. Walaupun secara umum upah riil buruh di sector industri (formal) mengalami kenaikan (sebesar 4.0%yoy dalam 2Q07), data BPS juga menunjukkan terjadinya penurunan upah riil buruh industri rokok (sebesar 7.96%yoy), industri pakaian jadi (sebesar 4.20%yoy), dan industri batu bata/ubin (sebesar 9.54%yoy).

Tantangan Hingga Jangka Menengah

1. Permasalahan strategik untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan dalam jangka pendek/menengah meliputi:

· Wrong incentive structure yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan ekonomi lebih berat ke sektor-sektor non-tradable seperti telekomunikasi, properti, dan jasa-jasa lainnya. Sementara sektor-sektor tradable yang seharusnya menjadi basis bagi pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan pekerjaan (pertanian dan industri manufaktur) agak terbengkalai. Hal ini terlihat jelas dalam pertumbuhan sektoral PDB (Produk Domestik Bruto), di mana sektor pertanian hanya bertumbuh sebesar 2% - 3% dan sektor industri manufaktur hanya tumbuh sebesar 4% - 5% saja. Kecenderungan ini juga terlihat dari relatif rendahnya laju pertumbuhan kredit perbankan ke sektor pertanian dan industri manufaktur yang masih single digit. Harga saham di Bursa Efek Jakarta juga mencerminkan sistem insentif yang kurang sesuai ini, yang mana saham-saham perusahaan yang bergerak di sektor industri manufaktur dan juga pertanian (nonperkebunan) praktis tidak terlalu meningkat secepat peningkatan harga saham sektor pertambangan, properti, dan telekomunikasi. Dalam hal ini diperlukan peran kebijakan pemerintah untuk benar-benar mendorong sektor pertanian dan industri manufaktur, guna mengimbangi perkembangan yang signifikan di sektor-sektor non-tradable tersebut yang di antaranya disebabkan oleh peningkatan harga komoditi dunia. Dengan kata lain, dibutuhkan kebijakan yang komprehensif bagi sektor pertanian (apa kabarnya revitalisasi pertanian yang dicanangkan oleh Pemerintah?), industri manufaktur yang padat karya, dan sektor energi.

· Gejala jobless growth yang sebagian merupakan dampak globalisasi di mana industri padat karya pindah ke negara-negara lain yang lebih menjanjikan dan kegagalan kita untuk menaiki jenjang kemajuan teknologi. Keadaan sangat mendesak untuk menciptakan lapangan kerja. Bilamana hal ini gagal dilakukan maka risiko konflik sosial, baik di desa maupun di kota akan meningkat dengan tajam.

· Ada semacam “disconnect” atau “decoupling” antara sektor finansial dan sektor riil, suatu hal yang akan mengganggu kelanjutan pertumbuhan ekonomi. Selama ini kelebihan dana di sektor keuangan diserap dalam SBI yang juga memakan biaya yang tidak sedikit bagi bank sentral (sekitar Rp 22 triliun per tahun). Perbankan mengalami masalah dalam melakukan pinjaman. Bahkan, karena prospek usaha domestik yang tidak menjanjikan para pengusaha enggan untuk mencairkan pinjaman yang telah disetujui perbankan (dewasa ini, kredit yang tidak digunakan telah mencapai lebih dari Rp 150 triliun).

· Terdapat kecenderungan meluasnya dualisme ekonomi. Pertumbuhan cenderung terpusat pada sektor-sektor kegiatan ekspor (tekstil dan produk tekstil, alas kaki, elektronik, perkebunan dan pertambangan) dan investasi baru berada di lokasi yang ideal dengan kegiatan ekspor (di Batam misalnya). Sektor-sektor lain, yang pada umumnya berorientasi konsumsi domestik dan menyerap tenaga kerja yang tinggi, laju pertumbuhannya rendah seperti sektor pertanian pangan dan UKM.

· Implementasi regulasi di bidang planning, programming and budgeting yang menghambat proses pembangunan karena proses anggaran sering tidak terkait dengan kebijakan pokok, terlalu rumit, tidak fleksibel dan tidak dapat mengakomodasi program dan proyek yang multi-year. Akibatnya, back-loading kegiatan menjadi semakin parah, dan penyelesaian proyek multi-year berjalan lambat.

· Sektor logistik merupakan urat nadi bagi perdagangan dalam negeri maupun internasional. Tanpa kelancaran bekerjanya sektor logistik, proses produksipun dapat terganggu. Inflasipun akan dapat menjadi lebih tinggi akibat terjadinya ketersendatan di jalan raya dan di pelabuhan. Faktor lokasi dan ketepatan waktu menjadi sangat penting untuk diperhatikan, apalagi menjelang di lakukannya upaya menuju terbentuknya ASEAN economic community, di mana sektor logistik menjadi salah satu sektor yang pertama yang akan diintegrasikan. Siapkah sektor logistik kita menghadapi upaya integrasi ASEAN ini? Pemerintah memang sudah berupaya untuk menekan pungutan-pungutan yang terkait dengan tingginya biaya logistik, namun permasalahan di sektor logistik bukan hanya menyangkut pengurangan ongkos angkut. Perkembangan logistik yang baik harus selalu dikaitkan dalam mata rantai suplai dan arus barang/jasa. Ketentuan hukum yang jelas pun dibutuhkan untuk mengurangi ketidakpastian dalam menjalankan usaha logistik. Perlu dipertegas kewenangan instansi untuk menangani sektor logistik yang penting ini, karena selama ini telah terjadi perebutan kewenangan antara departemen perdagangan, departemen perhubungan dan kementerian komunikasi dan informasi.

· Buruknya kualitas kebijakan, cenderung ad hoc karena payung kebijakan menyeluruh tidak dipersiapkan, mengakibatkan kredibilitas pemerintah yang rendah dan tidak meningkatkan iklim bisnis dan investasi. Contoh terakhir adalah respons terhadap kenaikan harga minyak bumi. Tidak adanya kebijakan energi yang komprehensif dan robust telah mengakibatkan pembahasan menjadi tidak konseptual, teknis dan berdimensi jangka pendek.

· Buruknya kerangka implementasi kebijakan lintas sektoral. Hal ini terutama berkaitan dengan wewenang yang tidak jelas dan anggaran lintas sektoral yang tidak ada/terbatas bagi lead organizations yang diberi tugas.

· Relatif lebih rendahnya defisit anggaran untuk tahun 2007, yang dipekirakan akan hanya mencapai 1.3% dari PDB versus target ABPN-P sebesar 1.5% dari PDB, tampa baik dari segi sovereign risk; apalagi jika kita masukkan resiko kenaikan harga minyak dunia. Namun ”keberhasilan” menekan defisit anggaran tidaklah menjadi ukuran kinerja kebijakan fiskal yang baik, karena bersamaan dengan itu Indonesia kehilangan kesempatan untuk tumbuh dengan lebih cepat dan penciptaan lapangan pekerjaan lebih banyak. Kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah menjadi terganggu akibat ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan pengeluaran-pengeluaran modal (capital spending) yang sangat dibutuhkan untuk mendukung perekonomian. Realisasi belanja modal pemerintah yang kurang dari 60% dari yang dianggarkan, bukanlah suatu prestasi yang dapat dibanggakan. Perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaan anggaran (yang juga melibatkan departemen lain dan pemerintah daerah) harus segera dilakukan kalau kita tidak ingin kehilangan kesempatan emas momentum untuk tumbuh dengan lebih baik.

2. Untuk memelihara dan meningkatkan daya saing dalam jangka panjang, sekarang ini kita hendaknya menyusun:

· Kebijakan strategik dan kerangka implementasi lintas sektor yang robust. Setidaknya untuk beberapa masalah yang penting seperti kebijakan energi, perluasan kesempatan kerja, sunset and sunrise industries, integrasi teknologi, perencanaan tenaga kerja, pendidikan dan pelatihan untuk industri-industri tertentu.

· Pemerintah perlu membuat agenda besar tentang reformasi administrasi negara. Reformasi ini hendaknya lebih dari sekedar kenaikan gaji dan perubahan job description. Reformasi proses kebijakan merupakan komponen yang sangat penting bagi negara modern yang senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah lintas sektor, masalah complex emergencies, masalah tak terduga yang timbul dari proses globalisasi dan regionalisasi. Satu sama lain, hal-hal ini menuntut respons yang cepat dan memadai dari CEO pemerintah. Dalam pada itu, kemampuan kantor Kepresidenan dalam bidang kebijakan strategik sangat terbatas.

Rekomendasi Kadin Indonesia

1. Mengimplementasikan program revitalisasi pertanian dan pedesaan.

2. Mengintegrasikan kebijakan pertanian, industri, dan energi nasional, sehingga tercipta suatu sinergi dalam mengoptimalkan segala potensi yang kita miliki, guna menjamin terwujudnya food and energy security.

3. Menghilangkan segala hambatan yang membuat produksi dalam negeri kian tersisih di pasar domestik.

4. Mengamankan target lifting minyak mentah agar tekanan defisit APBN bisa diminimalisasikan; seraya mendorong diversifikasi energi, terutama meningkatkan penggunaan energi terbarukan.

5. Meningkatkan dan mempercepat pembangunan serta perbaikan kondisi infrastruktur di luar Jawa.

6. Menetapkan regulasi ruang lingkup dan koordinasi pemerintah tentang logistic (siapa yang mengkoordinir) agar mampu mendukung supply chain dari sektor-sektor yang berorientasi ekspor dan agar dapat terintegrasi dengan system produksi global.

7. Memperdalam fixed capital formation dengan meningkatkan secara signifikan porsi investasi dalam bentuk permesinan.

8. Menempatkan posisi UMKM sebagai pelaku ekonomi dalam pembangunan nasional untuk menciptakan industri pendukung/penunjang pertumbuhan industri nasional. Pada waktu bersamaan, pemerintah dituntut untuk meningkatkan akses UMKM terhadap kredit dan instrumen pembiayaan lainnya.

PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN SEKTOR UMKM:

PERKEMBANGAN DAN STRATEGI KE DEPAN

perekonomian nasional, termasuk sector UMKM, diyakini akan jauh lebih baik. Optimisme prospek perkembangan sektor UMKM ke depan seperti ini jelas memerlukan penguatan peran dan strategi pembiayaan, khususnya dari industri perbankan, untuk mendukungnya. Makalah ini mencoba mengemukakan beberapa pokok pemikiran mengenai perkembangan selama ini dan strategi pembiayaan sektor UMKM ke depan. Pertama-tama akan diulas secara ringkas perkembangan pembiayaan sektor UMKM selama ini, dengan menekankan sejumlah perubahan struktural dalam ekonomi dan keuangan di Indonesia yang menjadi pendorongnya. Selanjutnya disampaikan prospek pembiayaan sektor UMKM, yang diikuti dengan beberapa agenda penting untuk penguatan kebijakan pengembangan sektor UMKM ke depan. Pemaparannya lebih ditekankan pada pemikiran konseptual strategis pada arah kebijakan pembiayaan sektor UMKM ke depan, dengan merujuk beberapa pemikiran dari

sejumlah studi yang dipandang relevan.

Perkembangan Pembiayaan Sektor UMKM

Analisis mengenai kondisi ekonomi dan keuangan Indonesia saat ini telah banyak disampaikan baik dalam laporan resmi berbagai lembaga publik maupun

dari para ekonom.2 Secara umum dapat Penulis adalah Direktur Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Bank Indonesia. Pendapat dalam makalah ini merupakan pendapat pribadi penulis, dan tidak selalu mencerminkan pendapat Bank Indonesia. Infokop Nomor 25 Tahun XX, 2004

30 dikatakan bahwa stabilitas ekonomi makro Indonesia hingga kini dapat terjaga secara baik, seperti tercermin pada defisit fiskal yang terkendali, laju inflasi yang relatif rendah, maupun nilai tukar rupiah yang stabil. Akan tetapi tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai masih moderat. Lebih dari itu, sumber utama pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada konsumsi sementara pertumbuhan investasi dan ekspor neto masih relatif rendah. Dengan tingkat pertumbuhan seperti ini, kemampuan ekonomi Indonesia untuk mengatasi permasalahan pengangguran dan kemiskinan juga

terbatas. Sumber: Bank Indonesia, Biro Pusat Statistik (BPS), Departemen Keuangan. Yang perlu ditekankan dalam anatomi ekonomi Indonesia saat ini adalah perubahan struktural ekonomi yang tengah berlangsung dan implikasinya bagi penguatan kebijakan publik yang

diperlukan ke depan. Dalam kaitan ini, perubahan struktural ekonomi setidaknya bisa dilihat dari dua sisi, yaitu di sektor riil dan di sektor keuangan. Di sektor riil, perubahan struktural yang terjadi berkaitan erat dengan beratnya permasalahan yang dihadapi sektor korporat sejak krisis tahun 1997. Sebagian besar perusahaan Indonesia, yang pada periode sebelum krisis merupakan komponen terbesar dari struktur ekonomi, hingga kini masih Bank Indonesia secara periodik menerbitkan laporan tahunan, triwulanan, maupun bulanan yang berisi evaluasi terhadap perkembangan ekonomi, moneter, perbankan, dan sistem pembayaran sebagai bagian dari laporan pelaksanaan tugas yang ditetapkan dalam UU No. 23 Tahun 1999.

Segi Pembangunan Pertanian

Untuk lebih mengoperasionalkan Rencana Pembangunan Pertanian 2005-2009, maka setiap unit kerja Eselon I lingkup Departemen Pertanian perlu menyusun Rencana Strategis (Renstra) sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Selanjutnya dari Renstra masing-masing disusun Rencana Kerja Tahunan yang lebih operasional.

Manajemen pembangunan pertanian mengacu pada peta kewenangan sesuai otonomi daerah. Pada periode 2000-2004, manajemen pembangunan pertanian mengacu UU Nomor: 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor: 25 tahun 2000. Dalam perjalannya, UU Nomor: 22 Tahun 1999 dinilai tidak sesuai dengan perkembangan tuntutan pembangunan dan diganti dengan UU Nomor: 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor: 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Manajemen pembangunan pertanian merupakan tugas dan kewenangan pemerintah pusat, propinsi dan daerah. Penjabaran program pembangunan pertanian dirumuskan sesuai dengan kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah dengan memperhatikan program-program sektor lainnya yang dapat mendorong pembangunan sektor pertanian. Penjabaran program juga mempertimbangkan upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Berdasarkan kebijakan otonomi daerah, pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan pembangunan pertanian yang wajib dilaksanakan dan tidak dapat dilimpahkan kepada propinsi. Kewenangan pemerintah propinsi mencakup bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota serta bidang pemerintahan tertentu lainnya dan dapat melaksanakan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia, pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional.

Mekanisme perencanaan

Mekanisme perencanaan pembangunan pertanian mengacu pada UU Nomor: 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; yang selanjutnya dijabarkan dalam Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor: KEP.214/M.PPN/11/2004 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 yang dikeluarkan Bappenas. PemerintahKabupaten/Kota di bawah koordinasi Bappeda melakukan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pertanian sebagai bahan untuk diusulkan ke tingkat propinsi. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pertanian juga dilakukan di tingkat Propinsi sebagai media koordinasi dan evaluasi atas usulan Pemerintah Kabupaten/Kota. Bappeda Propinsi berperan mengkoordinasikan pembangunan pertanian terutama dalam memadukan kegiatan, pengembangan wilayah, dan sumber pembiayaan pembangunan.

Pemerintah Pusat melakukan pertemuan regional perencanaan pembangunan pertanian guna mensosialisasikan kebijakan nasional dan membangun komitmen Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Pemerintah Pusat memfasilitasi rencana pembangunan pertanian daerah yang sejalan dengan kebijakan nasional berdasarkan pertimbangan kesesuaian rencana daerah dengan (1) tata ruang pengembangan ekonomi dan penggunaan sumberdaya alam, aspek lingkungan dan peningkatan kapasitas, (2) pencapaian dayasaing nasional atas dasar keunggulan komparatif wilayah dan komoditas, potensi sumberdaya, pusat-pusat pertumbuhan, potensi pasar, potensi komoditas secara nasional, (3) pemberdayaan wilayah tertinggal, pengentasan kemiskinan dan pemerataan, dan (4) kebijakan nasional, ketahanan pangan, kebijakan perdagangan internasional, kebijakan makro, dan pembangunan prasarana dan sarana dalam lingkup nasional.

Di tingkat Pusat kegiatan penyusunan perencanaan pembangunan pertanian dikoordinasikan oleh Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian (cq Biro Perencanaan dan Keuangan).

Pelaksanaan

Pada hakekatnya, kegiatan pembangunan pertanian ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah memfasilitasi sebesar-besarnya partisipasi masyarakat dengan mendayagunakan keterpaduan kegiatan yang dibiayai oleh APBN, APBD, swasta dan sumber-sumber dana pembangunan pertanian lainnya. Pada pelaksanaannya pembangunan pertanian sebagian besar dilaksanakan di daerah dan tidak hanya terpaku pada batas-batas administrasi pemerintahan (kabupaten, propinsi), tetapi lebih bersifat lintas disiplin dan lintas sektoral. Untuk itu diperlukan adanya sinkronisasi kegiatan pembangunan pertanian dari kepentingan setiap komponen yang terlibat, baik di pusat maupun daerah. Komitmen Pemerintah Daerah dalam alokasi APBD dan keseriusan dalam pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan kegiatan-kegiatan di daerahnya sangat menentukan keberhasilan pembangunan pertanian.

Monitoring,Evaluasi,Pengawasan, Pengendalian

Pemerintah mempunyai kewenangan menyusun standar dan prosedur monitoring, evaluasi, pengawasan, dan pengendalian dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi fasilitasi pembangunan pertanian. Monitoring dan evaluasi wajib dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Daerah (Kabupaten/Kota). Monitoring ditujukan untuk memantau proses pelaksanaan dan kemajuan yang telah dicapai dari setiap kegiatan pembangunan pertanian. Evaluasi dilaksanakan sebagai upaya pengawasan, penilaian dan perbaikan terhadap pelaksanaan kegiatan agar berjalan sesuai dengan tujuan secara efektif dan efisien.